Rabu, 12 Desember 2007

Korporasi Belum Siap Adopsi Web 2.0

Sektor korporasi dinilai belum sepenuhnya siap beralih ke fenomena Web 2.0. Takut rusaknya image perusahaan menjadi salah satu pendorong belum banyaknya perusahaan yang mengembangkan Web 2.0.

Hal itu diungkapkan Mas Wigrantoro Roes Setyadi, pengamat telematika yang juga salah satu Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) di sela-sela acara HP Journalist Workshop XIII 2007, yang digelar 7-9 Desember 2007 di Sheraton Senggigi, Lombok.

Kenapa situs di Indonesia khususnya korporasi belum banyak yang mengembangkan Web 2.0? Karena sulitnya mengendalikan user dan adanya keterbukaan informasi yang ujung-ujungnya takut merusak image perusahaan itu sendiri, jawabnya.

Web 2.0 mengusung prinsip interaktif antara pengelola situs dan pengunjung, namun seringkali perusahaan khawatir user membagi, mengkritik ataupun memberikan informasi secara bebas yang nantinya dapat merusak 'harga diri' perusahaan.

"Kalau ada pertanyaan atau ada apa, terus dijawabnya seminggu lagi kan sudah basi, bukan interaktif lagi namanya," ujar Mas Wigrantoro kepada detikINET.

Mas Wig (sapaan akrab Mas Wigrantoro) menilai, secara teknologi perusahaan sebenarnya sudah siap beralih ke fenomena Web 2.0, namun persoalannya adalah dari sisi manajemen. Secara manajemen belum siap karena banyak korporasi yang mengganggap internet/situs hanya sebagai bagian dari promosi, bukan bagian dari bisnis perusahaan.

"Jadi situs hanya dijadikan sebagai komplemen saja. Banyak perusahaan yang mempunyai situs tapi belum mengintegrasikannya kepada proses bisnis," terangnya lagi.

Hidup dari Komunitas

Web 2.0 dinilai akan lebih 'hidup' di suatu komunitas yang besar misalnya kalangan anak sekolah/universitas, contohnya akucintasekolah.com. Menurutnya, kalau universitas bisa memposisikan situsnya sebagai arena dimana para mahasiswa bebas menulis, memajang karya, tempat dosen berbicara dan berbagi informasi akan sangat bagus sekali.

Web 2.0 akan tumbuh dari organisasi yang punya konsumer besar dan derajat keinteraktifan yang tinggi. "Isu-isunya juga harus multi isu, makanya universitas lebih cocok. Yang belajar hukum juga bisa membaca isu anak psikologi misalnya," Wig memberi contoh.

Komunitas itu sendiri harus ada yang bentuk dan akan terbentuk dengan sendirinya. "Contohnya YouTube, apakah dia kontak sana sini untuk mengunjungi YouTube? Enggak, tapi lebih kepada the power of mouth-to-mouth," tukasnya. ( dwn / dwn )

Tidak ada komentar: